SuaraBogani.com__ Di selatan tanah Totabuan, tepat di bibir Teluk Tomini, tersembunyi sebuah tempat yang tak sekadar menyuguhkan keindahan alam, tapi juga menghadirkan kedamaian yang menyejukkan jiwa-“Tanjung Binerean”.
Terletak di Dusun Lopon, Kecamatan Pinolosian Timur, destinasi ini bukan hanya hamparan pantai dan laut, tetapi juga serpihan rindu yang menjelma dalam sepi dan hening yang menyapa.
Disebut-sebut sebagai mutiara yang belum sepenuhnya tersentuh modernitas, Tanjung Binerean menyimpan kisah panjang tentang alam, manusia, dan perjumpaan yang tak terlupakan.
Bagi komunitas pecinta alam Singgolong Explorer, tempat ini lebih dari sekadar tujuan wisata ” ia adalah ruang pulang bagi jiwa yang lelah oleh hiruk pikuk kota”
Untuk mencapai Tanjung Binerean, pengunjung dari pusat Kota Kotamobagu memiliki dua pilihan rute: melalui jalur Tonsile yang relatif cepat atau memutar melalui Molibagu dengan waktu tempuh lebih panjang. Dari pusat Desa Torosik, perjalanan dilanjutkan sejauh 7-8 menit menuju Dusun Lopon. Meski tak ditemui fasilitas mewah layaknya destinasi wisata komersial, keramahan penduduk lokal menjadikan perjalanan ini sebagai pengalaman yang menyentuh.
Air bersih, meski bukan fasilitas melimpah di kawasan ini, tetap bisa diakses melalui depot-depot warga. Pengunjung cukup meminjam galon dengan catatan sederhana: kembalikan saat pulang. “Di sini logistik ditakar dengan kepercayaan, dan keramahan menjadi mata uang yang paling berharga,” ujar Justivo Anau, salah satu anggota Singgolong yang kerap kembali ke tempat ini.
Daya tarik utama Tanjung Binerean adalah perpaduan lanskap hutan cemara yang hijau dan garis pantai berpasir putih yang membingkai laut sejernih kaca. Untuk sampai ke titik pesisir yang lebih terpencil, pengunjung dapat menumpang perahu nelayan lokal. Tak perlu banyak negosiasi; cukup senyum dan niat baik, maka lautan pun seolah membuka jalan.
Sesampainya di lokasi, jejeran pohon cemara menyambut bak gerbang surga. Pepohonan tinggi menjulang menciptakan lorong alami yang teduh, meneduhkan fisik dan batin. Di bawah bayangannya, setiap langkah kaki seolah menguak lembaran baru dari sebuah kisah yang belum selesai ditulis—tentang cinta, tentang pulang, tentang damai yang mengendap.
Laut Tanjung Binerean begitu jernih hingga langit seakan memantul di permukaannya. Di tempat ini, banyak pengunjung memilih tidak bersuara, hanya mendengar. Mendengar desir angin, gemericik ombak, atau bisikan batin yang jarang terdengar di kota. Bagi yang jeli menangkap suasana, Tanjung Binerean adalah ruang sunyi yang menyembuhkan.
Tak lengkap membicarakan Tanjung Binerean tanpa menyebut Pak Hasan, atau yang akrab disapa Om Bas. Sosok sepuh yang dianggap sebagai penjaga kenangan kawasan ini. Ia bukan hanya tuan rumah, melainkan bagian dari keluarga besar komunitas pelintas alam yang menjadikan Binerean sebagai rumah kedua.
“Pak Hasan adalah pelabuhan bagi rindu yang kembali. Kami datang bukan hanya untuk wisata, tapi untuk pulang,” tutur salah satu anggota Singgolong Explorer. Di bawah rumah sederhananya, cerita-cerita masa lalu tentang pelaut, pencari peruntungan, dan perantau mengalir seperti sungai tak bertepi.
Malam hari, suasana makin khidmat. Di tepian hutan cemara, para petualang mendirikan tenda, menyalakan unggun, dan merayakan kebersamaan dalam prosesi sederhana: membakar ikan segar hasil pancingan, ditemani secangkir kopi hangat, dan percakapan ringan. Di sini, waktu melambat. Tak ada sinyal internet, tapi sinyal hati justru menguat.
Saat fajar merekah dari arah timur, sinar matahari perlahan membasuh laut dan hutan dengan warna emas. Nelayan mulai menyiapkan jaring, sementara para pengunjung enggan beranjak dari tempat duduknya. Pemandangan ini tidak bisa diungkap sepenuhnya lewat kamera—ia harus dirasakan.
Salah satu tradisi yang digemari pengunjung adalah memancing di pagi hari. Dengan joran kesayangan, banyak yang berharap beruntung menarik ikan dari laut yang tenang. Kadang hasilnya bukan hanya ikan, tapi juga perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya.
Tanjung Binerean memang tidak memiliki baliho besar, tidak pula wahana buatan. Tapi di sinilah letak keistimewaannya. Ia tidak butuh banyak promosi, cukup satu kali kunjungan, dan kamu akan terhipnotis ingatan ingin kembali.
“Jangan datang kalau kamu tak siap dihantui rasa tak ingin pulang,” ujar Justivo Anau setengah bercanda. Tapi dari sorot matanya, jelas bahwa ucapannya bukan hanya lelucon. Tanjung Binerean memiliki semacam daya magis yang menjebak hati pengunjung dalam kenangan indah yang tak lekang oleh waktu.
Meski belum banyak tersentuh pembangunan pariwisata, warga berharap tempat ini tetap dijaga kelestariannya. Bukan untuk dijadikan objek komersial semata, tapi untuk diwariskan pada generasi berikutnya sebagai contoh tempat di mana manusia dan alam hidup dalam harmoni.
Tanjung Binerean— Destinasi sunyi yang menyapa rindu dan penantian untuk kembali…**
