SuaraBogani--Ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan China, kembali memanas. Setelah serangkaian kebijakan tarif, pembatasan ekspor, hingga perang teknologi, konflik ini telah menciptakan dampak domino terhadap perekonomian global yang hingga kini belum sepenuhnya pulih.
Perang dagang yang dimulai secara terbuka pada 2018 ini bukan hanya persoalan defisit neraca perdagangan atau praktik perdagangan tidak adil, tetapi telah berkembang menjadi konflik geopolitik dengan implikasi yang melampaui batas perdagangan konvensional.

Konflik ini bermula ketika pemerintahan Presiden Donald Trump memberlakukan tarif terhadap produk impor asal China senilai ratusan miliar dolar AS. Alasannya: Washington menuduh Beijing melakukan pencurian kekayaan intelektual, memanipulasi mata uang, dan memberikan subsidi besar-besaran kepada perusahaan dalam negeri—semua ini dinilai menciptakan ketidakseimbangan dalam perdagangan global.
China merespons dengan mengenakan tarif balasan atas barang-barang asal AS, mulai dari produk pertanian, otomotif, hingga barang elektronik. Ketegangan ini menciptakan ketidakpastian bagi pasar global dan mengganggu rantai pasok internasional.
Perang dagang ini bukan hanya menjadi urusan dua negara. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Vietnam, dan Meksiko ikut terdampak—baik secara negatif maupun positif. Beberapa perusahaan multinasional memindahkan pabrik dari China untuk menghindari tarif AS, membuka peluang bagi negara-negara Asia Tenggara. Namun di sisi lain, volatilitas pasar dan perlambatan ekonomi global justru membebani banyak negara dengan ekonomi terbuka.
Faktor lain yang patut dicatat adalah inflasi global yang turut terdorong akibat terganggunya rantai pasok. Kenaikan harga barang-barang penting seperti baja, chip semikonduktor, hingga komoditas agrikultur menjadi momok yang menghantui banyak negara, termasuk negara-negara di Eropa dan Asia Tenggara.
Seiring berjalannya waktu, konflik perdagangan ini bertransformasi menjadi perang teknologi. Pemerintah AS memberlakukan pembatasan terhadap raksasa teknologi China seperti Huawei dan TikTok, dengan alasan keamanan nasional. Sebaliknya, China mulai menggencarkan inisiatif “Made in China 2025” untuk memperkuat ketahanan dan kemandirian teknologinya.
Akibatnya, dunia menyaksikan munculnya fragmentasi baru dalam ekosistem teknologi global. Perpecahan antara standar teknologi Barat dan China mulai terasa di sektor 5G, kecerdasan buatan, dan manufaktur semikonduktor. Investor kini harus berhati-hati dalam menanamkan modal di perusahaan yang berada di tengah konflik dua kekuatan ini.
Meskipun ada beberapa momen yang tampak seperti titik terang—misalnya penandatanganan “Fase Satu” kesepakatan perdagangan pada Januari 2020—namun langkah tersebut tidak membuahkan hasil signifikan dalam menurunkan tensi. Banyak komitmen yang gagal dipenuhi, termasuk janji China untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS.
Pemerintahan era Joe Biden, meski menggunakan pendekatan diplomatik yang berbeda dari Trump, tetap mempertahankan sebagian besar tarif dan pembatasan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa konflik ini bukan sekadar soal kebijakan pemerintahan, tetapi bagian dari strategi jangka panjang dalam kompetisi antara dua kekuatan global.
Investor dan pelaku pasar telah lama mengeluhkan ketidakpastian yang disebabkan oleh konflik ini. Bursa saham global kerap bergejolak setiap kali ada pengumuman tarif baru atau pernyataan agresif dari pejabat tinggi kedua negara.
Bagi pelaku usaha, strategi “diversifikasi pasar” dan “reshoring” (pemindahan basis produksi kembali ke negara asal) menjadi pilihan populer untuk mengurangi ketergantungan pada China. Namun langkah ini tidak murah dan sering kali menimbulkan risiko baru.
Banyak pengamat percaya bahwa perang dagang ini akan terus berlanjut dalam bentuk yang lebih kompleks. Fokus tidak lagi sekadar pada tarif, melainkan juga pada ketahanan teknologi, kedaulatan data, dan blok perdagangan strategis.
Dengan semakin terpolarisasinya dunia ke dalam dua kubu besar, yakni kubu Barat yang dipimpin AS dan sekutu-sekutunya, dan kubu Timur yang digalang China dan mitra strategisnya, masa depan perdagangan global berada dalam titik kritis.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China adalah konflik yang menggambarkan transformasi tatanan global. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga simbol dari perebutan dominasi dunia di era baru. Dalam dunia yang saling terhubung, ketegangan antara dua raksasa ini bukan hanya urusan mereka saja—dunia pun ikut terguncang.
Jika tidak ada terobosan diplomatik atau komitmen nyata menuju keadilan dan transparansi perdagangan, maka api konflik ini akan terus menyala, membakar tidak hanya dua negara yang terlibat, tetapi juga seluruh ekosistem ekonomi global…














