SuaraBogani.com__Sulawesi menyimpan warisan budaya prasejarah yang menakjubkan. Sebuah tradisi kuno dengan prosesi penguburan di tebing, yakni praktik pemakaman pada dinding batu yang dipahat menjadi rongga-rongga persegi. Tradisi ini menjadi simbol penghormatan terhadap leluhur dan keyakinan akan kehidupan setelah mati.
Penelitian terbaru oleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara – BRIN mengungkap perbandingan menarik antara kubur tebing di Toraut (Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara) dan kubur tebing di Toraja (Sulawesi Selatan). Meski sama-sama berakar pada budaya megalitik, keduanya memiliki perbedaan yang mencolok dalam bentuk, lokasi, dan makna upacara penguburannya.
Di Toraut, ditemukan empat situs kubur tebing di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Dinding batu yang dipahat membentuk rongga persegi panjang ini dulunya digunakan untuk menyimpan jenazah, namun kini tradisi itu telah hilang dari kehidupan masyarakat setempat. Beberapa rongga masih menyimpan sisa tulang dan fragmen gerabah yang diduga sebagai bekal kubur.
Sementara itu di Toraja, tradisi penguburan di tebing masih hidup hingga kini. Kubur tebing di kawasan Bori’ Parinding dan Kete Kesu bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga situs sakral yang menyatu dengan sistem kepercayaan kuno Aluk Todolo. Di sana, setiap jenazah dimuliakan melalui upacara Rambu Solo’ dan ditempatkan bersama patung kayu Tau-tau, simbol perwujudan arwah dan status sosial si mati.
Kubur tebing di Toraja umumnya merupakan penguburan sekunder, di mana jenazah dimasukkan ke peti kayu dan disemayamkan setelah upacara adat. Sementara di Toraut, kubur tebing kemungkinan besar bersifat penguburan primer, langsung menempatkan jenazah dalam rongga pahatan batu tanpa peti. Perbedaan ini menggambarkan keanekaragaman tradisi megalitik di Sulawesi, yang tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga spiritualitas dan identitas masyarakat masa lampau.
Amu’ mokoginta dalam tanggapannya setelah mengunjungi beberapa situs di Toraot berasumsi “Kubur tebing bukan hanya peninggalan arkeologi, tapi saksi bisu hubungan manusia dengan leluhur dan alamnya.”
Kini, temuan-temuan tersebut menjadi pengingat penting akan kekayaan warisan budaya Nusantara yang perlu dilestarikan — bukan sekadar untuk diteliti, tetapi juga untuk dipahami sebagai bagian dari jati diri bangsa.